Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di
Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas
dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki
tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
skuamosa.
Insidens karsinoma
nasofaring berbeda secara geografis dan etnik serta hubungannya dengan
Epstein-Barr Virus (EBV). Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang
65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa
negara insidens kanker ini hanya 0,6 % dari semua keganasan. Di Amerika insiden
karsinoma nasofaring 1-2 kasus per 100.000 laki-laki dan 0,4 kasus per 100.000
perempuan. Namun di negara lain dan kelompok etnik tertentu, seperti di Cina,
Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan. Insiden
karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina
bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dan daerah Guangxi
dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk pertahun. Indonesia
termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring
yang tinggi di luar Cina. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per
tahun di seluruh Indonesia.
Data registrasi kanker
di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukan bahwa karsinoma
nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki –
laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring lebih sering pada
laki-laki dibanding perempuan dan dapat mengenai semua umur, dengan insidens
meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada umur 40-60 tahun. Juga
pernah dilaporkan kasus karsinoma nasofaring pada anak-anak dibawah 15 tahun.
Tumor ganas ini tidak mempunyai gejala yang spesifik, seringkali tanpa gejala,
sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi. Bahkan
pada > 70 % kasus gejala pertama berupa lymphadenopathy cervical, yang
merupakan metastasis karsinoma nasofaring.
Berdasarkan klasifikasi
histopatologi WHO tahun 1978, karsinoma nasofaring dibagi menjadi tiga subtipe
yaitu; squamous cell carcinoma/SCC (WHO-1), nonkeratinizing carcinoma (WHO-2)
dan undifferentiated carcinoma (WHO-3). Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991
membagi tumor ganas ini menjadi squamous cell carcinoma (keratinizing SCC) dan
nonkeratinizing carcinoma yang terdiri atas “differentiated” dan
“undifferentiated” serta basaloid SCC. WHO-3 merupakan subtipe histologi yang
utama di daerah endemik, sementara WHO-1 kurang dari 5% dari populasi endemik.
Selama periode 2000-2004, dari data Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr M. Djamil Padang dan RSU Achmad Muchtar
Bukittinggi, karsinoma nasofaring menduduki urutan ke 8 dengan 3,65% (123
kasus) dari keseluruhan tumor ganas, namun belum diketahui subtipe histologi
apakah yang terbanyak.
Penanggulangan
karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang
berbentuk kubus yang terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk
dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”.
Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior).
Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang
adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus
faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.3
Bangunan-bangunan
penting yang terdapat di nasofaring adalah: 3
1.
Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia
kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2
Fosa Nasofaring atau
Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan
tempat predileksi fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3
Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran
tuba Eustachii (ostium tuba)
4
Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah
belakang torus tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai
alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan
tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi
epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya
keganasan nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari
epitel yang bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel
kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat
bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi
epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle,
batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat
umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau
celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.3
Walaupun
fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan
tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain
di nasofaring.3 Moch. Zaman
mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1. Dinding
atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2. Di
bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3. Dinding
lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan
palatum molle.
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk
non-Mongoloid, namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki
tempat tertinggi, yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84
per 100.000 penduduk untuk Propinsi Guangdong 7,10.
Ras
Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga
sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di
Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang
Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya karena memakan makanan
yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin 1, 7, 10.
Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah keseluruhan tumor ganas daerah
kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke
tahun, karsinoma nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT.
Frekuensinya hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih
dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per
tahun, Makassar 25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15
kasus per tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang
tidak jauh berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota
lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di
seluruh Indonesia. 10
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab
karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien
dengan karsinoma nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi,
sedang pada penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak
ditemukan titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian
mengenai perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan
satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
munculnya tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi
bakteri atau parasit. 1,3,10
Tumor
ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum dapat diungkapkan
dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, hormonal, kebiasaan
hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan
penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun ada penelitian yang menemukan
perbandingan laki-laki dan perempuan hanya 2 : 1. Pada penelitian yang
dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan
3 : 2. Hormon testosteron yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan
penurunan respon imun dan surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan
terhadap infeksi VEB dan kanker.1,7,10
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi kronik oleh bahan
kimia, asap, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Pengaruh genetik terhadap karsinoma
nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated imunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar
pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan
keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. 3,10
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 9
Pada
keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur
oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila
mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan
dan pembelahan sel secara patologis.9,10
2.5
Manifestasi
Klinis
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma
nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala
hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan
gejala saraf.
1.
Gejala
Hidung/Nasofaring 3
Harus dicurigaiadanya karsinoma
nasofaring, bila ada gejala-gejala:
·
Bila
penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia
lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
·
Bila
penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika
terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus
paranasal.
·
Pada
penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung
(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung
tidak ada kelainan.
2.
Gejala
Telinga 3,10
Gejala pada telinga umumnya berupa
pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh seperti terisi air, berdengung
atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi
biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau
karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.
3.
Gejala
Tumor Leher 3,10
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan
penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini
bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai
metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di
belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan
tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga
mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
4.
Gejala Mata 3,10
Penderita akan mengeluh
penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti, penderita akan
menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang
dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang
letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.
Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III
dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan
oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka
penderita dapat mengalami kebutaan.
5.
Gejala
Saraf 3,10
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis
biasanya didahului oleh beberapa gejala subyektif yang dirasakan sangat
menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa berputar,
hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan
(disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf
saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan
mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare.
Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.
Karsinoma
nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran
histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM
menurut UICC (1992).3,10
·
T (Tumor Primer)
T0 = Tidak
tampak tumor
T1 = Tumor
terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)
T2 = Tumor
terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga
nasofaring
T3 = Tumor
telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring
T4 = Tumor
telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf
otak
Tx = Tumor
tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
·
N (Pembesaran kelenjar
getah bening regional)
N0 = Tidak
ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat
pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 = Terdapat
pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan
N3 = Terdapat
pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah melekat pada
jaringan sekitar
·
M (Metastasis jauh)
M0 =
Tidak ada metastasis jauh
M1 =
Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma
nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:
a.
Stadium I : T1 N0
M0
b.
Stadium II : T2 N0
M0
c.
Stadium III : T1/2/3 N1
M0 atau T3 N0 M0
d.
Stadium IV : T4 N0 M0
atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3
M1
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring
dibedakan menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3,7,10
Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana
karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid.
Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai
hingga saat ini.
a.
Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma
sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada
permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang
dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b.
Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma
non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling banyak variasinya, sebagian tumor
berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran
yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.
c.
Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa
diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling heterogen. Tipe WHO
3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma,
karsinoma anaplastik, clear cell
carcinoma, dan variasi spindel.
a. Anamnesis
dan Pemeriksaan Fisik 3
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan
adanya nasofaring, seperti di bawah ini:
1) Setiap
ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih
jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus
mandibula.
2) Dugaan
karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:
§ Disertai
gejala hidung dan telinga
§ Disertai
gejala mata dan saraf
3) Dugaan
karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor
leher ini maka kita sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher
merupakan perluasan atau metastase tumor induk.
b. Pemeriksaan
Penunjang
1) CT
scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer
yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan. 1,3,4,7,10
2) Pemeriksaan
Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan ini hanya digunakan
untuk menentukan prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah.
Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 10
3) Biopsi
Ini
merupakan diagnosis pasti untuk
karsinoma nasofaring. Biopsi
dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi
melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan
ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan
ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan
dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
4) Bila dengan cara ini masih belum didapatkan
hasil yang memuaskan maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narkosis. 3,7,10
Penatalaksanaan
karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan
pengobatan.
1)
Pencegahan
Karena penyebab kanker
nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya berdasarkan
faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring
tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr,
mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi
timbulnya karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.3,10
2) Pengobatan
Dalam pengobatan
kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan obat-obatan
sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara
pembedahan transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal
(Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya
menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase
dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar
limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan
parafaring. 3,7,11,12
b. Radioterapi
Radiasi
ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi dikenal
2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh
dari tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar
dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan
teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan
sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe leher. 3,5,7,10
c. Obat-obatan Sitostatika
Dapat
diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal umumnya
dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai
sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne,
Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik
dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa
juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.
Obat
kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta penting
pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai
antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan
Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA
(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 3,5,7,10
d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak
dilakukan di klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan
research dan trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian
antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. 3
e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat
menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus
termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada karsinoma
nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .2
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
jumlah kasus Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 di RSD dr. Soebandi
Jember. Pengumpulan data dilakukan pada poli THT, instalasi rekam medis, dan
instalasi patologi anatomi RSD dr. Soebandi Jember.
Penelitian ini
dilakukan di Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi RSD
dr. Soebandi Jember pada tanggal 11 – 23 Juli 2011.
Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pasien (rawat jalan dan rawat inap) yang pernah
datang dan mendapatkan perawatan di RSD dr. Soebandi Jember khususnya SMF THT.
Jumlah sampel sebanyak 98 orang yang terdiri dari 56 pasien pada tahun 2009 dan
42 pasien pada tahun 2010..
Variabel penelitian yang digunakan antara lain :
·
Jumlah kasus
·
Kecepatan diagnosis
·
Frekuensi kontrol
·
Pasien yang datang
dengan diagnosa klinis atau diagnosa Patologi Anatomi dengan suspect atau
Carsinoma Nasofaring.
·
Pasien yang memiliki
kelengkapan data (identitas, Status rawat jalan/ rawat inap, dan atau hasil
pemeriksaan Patologi anatomi).
·
Pasien yang datang
bukan dengan diagnosa klinis atau diagnosa Patologi Anatomi dengan suspect atau
Carsinoma Nasofaring.
·
Pasien yang tidak
memiliki kelengkapan data (identitas, Status rawat jalan/ rawat inap, dan atau
hasil pemeriksaan Patologi anatomi).
·
Carsinoma Nasofaring
Adalah pasien yang datang berobat
ke RSD dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai
Carsinoma Nasofaring dengan diagnosa pasti (baik berupa diagnosa klinis/
diagnosa Patologi Anatomi).
·
Suspect Carsinoma nasofaring
Adalah pasien yang datang berobat
ke RSD dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai
Carsinoma Nasofaring namun dengan diagnosa yang belum pasti.
·
Neoplasma lain
Adalah pasien datang berobat ke RSD
dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai Carsinoma
Nasofaring, namun setelah dilakukan pemeriksaan penunjang (Patologi Anatomi)
menghasilkan diagnosa diluar Carsinoma Nasofaring.
·
Kecepatan diagnosis
Adalah lamanya waktu untuk
menegakkan diagnosa, dimulai dari saat pasien hanya mendapatkan diagnosa klinis
sampai diagnosa Patologi Anatomi ditegakkan.
·
Frekuensi kontrol
Adalah frekuensi kedatangan pasien
untuk berobat ke SMF THT RSD dr. Soebandi Jember.
1. Permohonan
izin
Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada
Direktur RSD dr Soebandi, Ka. Instalasi Rekam medis, dan Ka. Instalasi Patologi
Anatomi atas nama Kepala SMF THT RSD dr.
Soebandi untuk menggunakan data berupa rekam medis yang akan digunakan sebagai
data dasar penelitian.
2. Pengumpulan
data
Pengumpulan data dilakukan di Poli THT, Instalasi
Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi pada tanggal 18 Juli- 21 Juli 2011.
3. Analisa
Data
Data
yang telah terkumpul dianalisa dan dituangkan dalam bentuk grafik yang terdiri
dari 3 variabel penelitian, yaitu jumlah kasus Suspect dan Carsinoma
nasofaring, Kecepatan diagnosis jumlah kasus Suspect dan Carsinoma nasofaring,
dan frekuensi kontrol jumlah kasus Suspect dan Carsinoma nasofaring pada RSD
dr. Soebandi Jember pada tahun 2009 dan 2010.
Jumlah kasus yang masuk
dalam kriteria penelitian adalah sebanyak 98 pasien yang terdiri dari 56 pasien
pada tahun 2009 dan 42 pasien pada tahun 2010, sedangkan data yang dapat diolah
hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien, dikarenakan sebanyak 34 pasien
(34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan oleh peneliti.
Peneliti membagi objek penelitian
menjadi 3 garis besar yaitu Suspect Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring,
dan Neoplasma lain.
Tabel
1. Jumlah kasus Susp. Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring, dan Neoplasma
lain
Tahun
|
Susp.Carsinoma Nasofaring
|
Carsinoma Nasofaring
|
Neoplasma lain
|
Total
|
2009
|
17 pasien (50%)
|
7 pasien (20%)
|
10 pasien (30%)
|
34 pasien
|
2010
|
18 pasien (60%)
|
8 pasien (26%)
|
4 pasien (14%)
|
30 pasien
|
Data pada tahun 2009
menunjukkan sebanyak 17 pasien (50%) didiagnosa dengan Suspect Carsinoma
Nasofaring, sebanyak 7 pasien (20%) diagnosa pasti Carsinoma Nasofaring sudah
dapat ditegakkan, dan sisanyanya sebanyak 10 pasien (30%) diagnosa pastinya
adalah Neoplasma lain.
Data pada tahun 2010
menunjukkan sebanyak 18 orang (60%)
didiagnosa dengan Suspect Carsinoma Nasofaring, sebanyak 8 pasien (26%)
diagnosa pasti Carsinoma Nasofaring sudah dapat ditegakkan, dan sisanya
sebanyak 4 pasien (14%) diagnosa pastinya adalah Neoplasma lain.
Gambar 1. Jumlah kasus
Susp. Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring, dan Neoplasma lain
4.2
Kecepatan
Diagnosis
Kecepatan Diagnosis pasien dengan Suspect dan Carsinoma Nasofaring
pada tahun 2009 dan 2010 diukur dengan mengumpulkan data rekam medis pasien
pada Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi. Pasien
yang diambil adalah pasien lama maupun pasien baru yang datang untuk
memeriksakan diri ke RSD dr. Soebandi selama kurun waktu 2 tahun (1 Januari
2009 – 31 Desember 2010).
Data yang dapat diolah hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien,
dikarenakan sebanyak 34 pasien (34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan
oleh peneliti. Peneliti membagi objek penelitian menjadi 7 satuan waktu yaitu 1, 2, 3, 4, 7, 14, dan 60 hari.
Kecepatan diagnosis
|
2009
|
2010
|
1 hari
|
10 (FNA B)
|
9(FNA B)
|
2 hari
|
6 (FNA B)
|
6(FNA B)
|
3 hari
|
5 (FNA B)
|
3(FNA B)
|
4 hari
|
2 (FNA B)
|
6(FNA B)
|
7 hari
|
4 (FNA B)
|
4(FNA B)
|
14 hari
|
5 (PA)
|
2(PA)
|
60 hari
|
2 (PA)
|
0
|
Total pasien
|
34
|
30
|
Data
Pada Tahun 2009 dan 2010 yaitu sebanyak 30% menunjukkan bahwa diagnosa pasti
dapat ditegakkan hanya dalam waktu 1 hari, sisanya sebanyak 70 % pasien,
diagnosis dapat ditegakkan dalam kurun waktu 2-14 hari, sedangkan waktu terlama
untuk menegakkan diagnosis Carsinoma pada tahun 2009 adalah selama 60 hari
(5%). Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain pasien yang pindah
perawatan di RS lain atau kepatuhan pasien untuk datang kontrol berobat ke RSD dr. Soebandi Jember.
Pada
tahun 2009 Sebanyak 27 pasien (±80%) ditegakkan menggunakan FNA B, sedangkan
pada tahun 2010 sebanyak 28 pasien (±93%).
Gambar 2. Kecepatan
diagnosis kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring
4.3
Frekuensi
Kontrol
Frekuensi Kontrol pasien dengan Suspect
dan Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 diukur dengan mengumpulkan
data rekam medis pasien pada Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi
Patologi Anatomi. Pasien yang diambil adalah pasien lama maupun pasien baru yang
datang untuk memeriksakan diri ke RSD dr. Soebandi selama kurun waktu 2 tahun
(1 Januari 2009 – 31 Desember 2010).
Data
yang dapat diolah hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien, dikarenakan
sebanyak 34 pasien (34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan oleh
peneliti. Berdasarkan data yang diperoleh frekuensi kontrol pasien dengan kasus
suspect dan Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 adalah 1-6 kali
kontrol dengan rerata sebagai berikut.
Tabel
3. Frekuensi kontrol kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring,
Frekuensi kontrol
|
2009
|
2010
|
1 kali
|
6 (17,5%)
|
8 (26,6%)
|
2 kali
|
10 (29,5%)
|
6 (20%)
|
3 kali
|
5(14,7%)
|
5 (16,6%)
|
4 kali
|
6 (17,5%)
|
4 (13,3%)
|
5 kali
|
3 (8,8%)
|
5 (16,6%)
|
6 kali
|
4 (11,7%)
|
2 (6,6%)
|
Total pasien
|
34
|
30
|
Data
pada tahun 2009 menunjukkan bahwa frekuesi kontrol tertinggi adalah 2 kali
yaitu sebanyak 10 pasien (29,5%), sisanya kontrol sebanyak 1, 3, 4, 5, dan 6
kali. Sedangkan data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi kontrol
tertinggi pasien adalah 1 kali yaitu sebanyak 8 pasien (26,6%). Hal ini bisa
disebabkan beberapa faktor antara lain pasien yang pindah perawatan di RS lain
atau kepatuhan dan kesadaran pasien untuk datang kontrol berobat ke RSD dr.
Soebandi Jember.
Gambar
3. Frekuensi kontrol kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di
Indonesia termasuk di RSD dr. Soebandi Jember. Dari data yang diperoleh,
terdapat sebanyak 98 pasien selama tahun 2009-2010, dimana ± 30% pasien dapat
ditegakkan diagnosisnya hanya dalam waktu 1 hari dan frekuensi kontrol pasien ±
30% adalah sebanyak 2 kali.
1. Diharapkan
ada penelitian lebih lanjut mengenai jumlah kasus karsinoma nasofaring
di RSD dr. Soebandi Jember dengan database yang lebih akurat untuk mengurangi
homogenitas subjek penelitian
2. Diharapkan
ada perbaikan dan keseragaman yang lebih baik lagi dalam penciptaan dan pengelolaan
rekam medis untuk memperolah database yang lebih akurat.
3. Diharapkan
ada intervensi lebih dari pihak pemerintah dan pelayanan kesehatan untuk
mengedukasi masyarakat tentang deteksi dini adanya karsinoma nasofaring.
4. Diharapkan
ada intervensi lebih dari pihak pemerintah dan pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk berobat apabila ditemukan
gejala/ keluhan yang berkaitan dengan adanya massa abnormal (tumor) khususnya karsinoma nasofaring.
1. American Cancer Society. 2011. Nasopharyngeal
Cancer. Atlanta, Ga: American Cancer Society; 2011.
2. Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan
Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library : Bagian
Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara.
3. Bambang S.S. 1992. Diagnostik dan
Pengelolaan Kanker Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
4. Brennan, Bernadette. 2005. Nasopharyngeal
Carcinoma. United Kingdom: Orphanet Encyclopedia. http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-NPC.pdf.
5. Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic
management: the place of chemotherapy. Annals of Oncology 17 (Supplement
10): x304–x307, 2006. doi:10.1093/annonc/mdl278.
6. Hao, Sheng-Po dan Tsang, Ngan-Ming. 2010. Surgical Management of Recurrent Nasopharyngeal Carcinoma. Chang
Gung Med J Vol. 33 No. 4.
7. Jeyakumar, Anita et al. 2006. Review
of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT-Ear,
Nose & Throat Journal March 2006.
8. Leu, Yi-Shing dan Lee, Jehn-Chuan. 2009. “Carcinoma in the Pharynx:
Nasopharynx, Oropharynx and Hypopharynx”.
J. Chinese Oncol. Soc. 25(2),
102-113.
9. Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. 2007. “Paru dan Saluran Napas Atas”.
Disunting oleh Vinay Kumar Ramzi S
Cotran, dan Stanley L. Robbins. Buku Ajar
Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.
10. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2006. “Karsinoma Nasofaring”. Disunting
oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher,
Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
11. Widjoseno-Gardjito. 2005. “Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ, Kepala
dan Leher”. Disunting oleh R Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta:
EGC
12. Wei, William I. 2001. Nasopharyngeal Cancer: Current Status of Management. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
2001;127:766-769.
13. Marur, S
dan Forastiere A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing Epidemiology,
Diagnosis, and Treatment. Mayo Clin Proc. April 2008;83(4):489-501
14.
Administrator. 2011. Pengobatan Kanker Nasofaring. [serial online]. http://www.indononi.com/wp-content/uploads/2011/06/Kanker-Nasofaring.jpeg.
Diakses 27 Juli 2011.
15. Cabenda.
2007. Head and Neck Cancer. [serial
online]. http://www.kno-clinic.com/images/cancer/?Page=ent_cancer.
Diakses 29 Juli 2011.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar