Senin, 27 Oktober 2014

Karsinoma Nasofaring




Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
Insidens karsinoma nasofaring berbeda secara geografis dan etnik serta hubungannya dengan Epstein-Barr Virus (EBV). Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa negara insidens kanker ini hanya 0,6 % dari semua keganasan. Di Amerika insiden karsinoma nasofaring 1-2 kasus per 100.000 laki-laki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan. Namun di negara lain dan kelompok etnik tertentu, seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan. Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk pertahun. Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang tinggi di luar Cina. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.
Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki – laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan dan dapat mengenai semua umur, dengan insidens meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai puncak pada umur 40-60 tahun. Juga pernah dilaporkan kasus karsinoma nasofaring pada anak-anak dibawah 15 tahun. Tumor ganas ini tidak mempunyai gejala yang spesifik, seringkali tanpa gejala, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi. Bahkan pada > 70 % kasus gejala pertama berupa lymphadenopathy cervical, yang merupakan metastasis karsinoma nasofaring.
Berdasarkan klasifikasi histopatologi WHO tahun 1978, karsinoma nasofaring dibagi menjadi tiga subtipe yaitu; squamous cell carcinoma/SCC (WHO-1), nonkeratinizing carcinoma (WHO-2) dan undifferentiated carcinoma (WHO-3). Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi tumor ganas ini menjadi squamous cell carcinoma (keratinizing SCC) dan nonkeratinizing carcinoma yang terdiri atas “differentiated” dan “undifferentiated” serta basaloid SCC. WHO-3 merupakan subtipe histologi yang utama di daerah endemik, sementara WHO-1 kurang dari 5% dari populasi endemik. Selama periode 2000-2004, dari data Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr M. Djamil Padang dan RSU Achmad Muchtar Bukittinggi, karsinoma nasofaring menduduki urutan ke 8 dengan 3,65% (123 kasus) dari keseluruhan tumor ganas, namun belum diketahui subtipe histologi apakah yang terbanyak.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.





Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.3

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 3
1.      Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2        Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3        Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)
4        Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan nasofaring. 

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.3
   Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di nasofaring.3 Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1.      Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2.      Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
3.      Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum molle.
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per 100.000 penduduk untuk Propinsi Guangdong 7,10.
     Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin 1, 7, 10.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruh Indonesia. 10
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan karsinoma nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang pada penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau parasit. 1,3,10
            Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan hanya 2 : 1. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan kanker.1,7,10
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi kronik oleh bahan kimia, asap, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated imunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. 3,10

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 9


2.5  Manifestasi Klinis
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf.
1.      Gejala Hidung/Nasofaring 3
Harus dicurigaiadanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
·        Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
·        Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.
·        Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.
2.      Gejala Telinga 3,10
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.
3.      Gejala Tumor Leher 3,10
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.
4.      Gejala Mata 3,10
Penderita akan  mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.
5.      Gejala Saraf 3,10
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf  kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.

Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut UICC (1992).3,10

·         T (Tumor Primer)
T0    =   Tidak tampak tumor
T1   =   Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)
T2   =   Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga nasofaring
T3   =   Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring
T4   =   Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
Tx   =   Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

·         N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)
N0  =   Tidak ada pembesaran KGB
N1  =   Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2  =   Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan
N3  =   Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar

·         M (Metastasis jauh)
M0       = Tidak ada metastasis jauh
M1       = Terdapat metastasis jauh

            Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:
a. Stadium I    : T1 N0 M0
b. Stadium II   : T2 N0 M0
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1

            Berdasarkan gambaran  histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3,7,10 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
            Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
            Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
            Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.

a.       Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 3
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah ini:
1)      Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.
2)      Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:
§  Disertai gejala hidung dan telinga
§  Disertai gejala mata dan saraf
3)     Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor induk.

b.      Pemeriksaan Penunjang 
1)      CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan. 1,3,4,7,10
2)      Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 10
3)    Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma  nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
          Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
4)           Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 3,7,10
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan pengobatan.
1)            Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.3,10
2)      Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan
            Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring. 3,7,11,12
b. Radioterapi
               Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe leher. 3,5,7,10
c. Obat-obatan Sitostatika
               Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.
               Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 3,5,7,10

         d. Imunoterapi
           Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. 3

e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .2



BAB 3. METODE PENELITIAN



      Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah kasus Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 di RSD dr. Soebandi Jember. Pengumpulan data dilakukan pada poli THT, instalasi rekam medis, dan instalasi patologi anatomi RSD dr. Soebandi Jember.
Penelitian ini dilakukan di Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi RSD dr. Soebandi Jember pada tanggal 11 – 23 Juli 2011.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien (rawat jalan dan rawat inap) yang pernah datang dan mendapatkan perawatan di RSD dr. Soebandi Jember khususnya SMF THT. Jumlah sampel sebanyak 98 orang yang terdiri dari 56 pasien pada tahun 2009 dan 42 pasien pada tahun 2010..
Variabel penelitian yang digunakan antara lain :
·         Jumlah kasus
·         Kecepatan diagnosis
·         Frekuensi kontrol
·      Pasien yang datang dengan diagnosa klinis atau diagnosa Patologi Anatomi dengan suspect atau Carsinoma Nasofaring.
·      Pasien yang memiliki kelengkapan data (identitas, Status rawat jalan/ rawat inap, dan atau hasil pemeriksaan Patologi anatomi).


·         Pasien yang datang bukan dengan diagnosa klinis atau diagnosa Patologi Anatomi dengan suspect atau Carsinoma Nasofaring.
·         Pasien yang tidak memiliki kelengkapan data (identitas, Status rawat jalan/ rawat inap, dan atau hasil pemeriksaan Patologi anatomi).
·         Carsinoma Nasofaring
Adalah pasien yang datang berobat ke RSD dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai Carsinoma Nasofaring dengan diagnosa pasti (baik berupa diagnosa klinis/ diagnosa Patologi Anatomi).
·         Suspect Carsinoma nasofaring
Adalah pasien yang datang berobat ke RSD dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai Carsinoma Nasofaring namun dengan diagnosa yang belum pasti.
·         Neoplasma lain
Adalah pasien datang berobat ke RSD dr. Soebandi Jember yang memiliki keluhan dan gejala yang menyerupai Carsinoma Nasofaring, namun setelah dilakukan pemeriksaan penunjang (Patologi Anatomi) menghasilkan diagnosa diluar Carsinoma Nasofaring.
·         Kecepatan diagnosis
Adalah lamanya waktu untuk menegakkan diagnosa, dimulai dari saat pasien hanya mendapatkan diagnosa klinis sampai diagnosa Patologi Anatomi ditegakkan.
·         Frekuensi kontrol
Adalah frekuensi kedatangan pasien untuk berobat ke SMF THT RSD dr. Soebandi Jember.

1.      Permohonan izin
Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Direktur RSD dr Soebandi, Ka. Instalasi Rekam medis, dan Ka. Instalasi Patologi Anatomi  atas nama Kepala SMF THT RSD dr. Soebandi untuk menggunakan data berupa rekam medis yang akan digunakan sebagai data dasar penelitian.

2.      Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan di Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi pada tanggal 18 Juli- 21 Juli 2011.

3.      Analisa Data
Data yang telah terkumpul dianalisa dan dituangkan dalam bentuk grafik yang terdiri dari 3 variabel penelitian, yaitu jumlah kasus Suspect dan Carsinoma nasofaring, Kecepatan diagnosis jumlah kasus Suspect dan Carsinoma nasofaring, dan frekuensi kontrol jumlah kasus Suspect dan Carsinoma nasofaring pada RSD dr. Soebandi Jember pada tahun 2009 dan 2010.



Jumlah kasus yang masuk dalam kriteria penelitian adalah sebanyak 98 pasien yang terdiri dari 56 pasien pada tahun 2009 dan 42 pasien pada tahun 2010, sedangkan data yang dapat diolah hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien, dikarenakan sebanyak 34 pasien (34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan oleh peneliti.
Peneliti membagi objek penelitian menjadi 3 garis besar yaitu Suspect Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring, dan Neoplasma lain.
Tabel 1. Jumlah kasus Susp. Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring, dan Neoplasma lain
Tahun
Susp.Carsinoma Nasofaring
Carsinoma Nasofaring
Neoplasma lain
Total
2009
17 pasien (50%)
7 pasien (20%)
10 pasien (30%)
34 pasien
2010
18 pasien (60%)
8 pasien (26%)
4 pasien (14%)
30 pasien

Data pada tahun 2009 menunjukkan sebanyak 17 pasien (50%) didiagnosa dengan Suspect Carsinoma Nasofaring, sebanyak 7 pasien (20%) diagnosa pasti Carsinoma Nasofaring sudah dapat ditegakkan, dan sisanyanya sebanyak 10 pasien (30%) diagnosa pastinya adalah Neoplasma lain.
Data pada tahun 2010 menunjukkan  sebanyak 18 orang (60%) didiagnosa dengan Suspect Carsinoma Nasofaring, sebanyak 8 pasien (26%) diagnosa pasti Carsinoma Nasofaring sudah dapat ditegakkan, dan sisanya sebanyak 4 pasien (14%) diagnosa pastinya adalah Neoplasma lain.
Gambar 1. Jumlah kasus Susp. Carsinoma Nasofaring, Carsinoma Nasofaring, dan Neoplasma lain
4.2  Kecepatan Diagnosis
Kecepatan Diagnosis pasien dengan Suspect dan Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 diukur dengan mengumpulkan data rekam medis pasien pada Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi. Pasien yang diambil adalah pasien lama maupun pasien baru yang datang untuk memeriksakan diri ke RSD dr. Soebandi selama kurun waktu 2 tahun (1 Januari 2009 – 31 Desember 2010).
Data yang dapat diolah hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien, dikarenakan sebanyak 34 pasien (34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan oleh peneliti. Peneliti membagi objek penelitian menjadi 7 satuan waktu  yaitu 1, 2, 3, 4, 7, 14, dan 60 hari.

Kecepatan diagnosis
2009
2010
1 hari
10 (FNA B)
9(FNA B)
2 hari
6 (FNA B)
6(FNA B)
3 hari
5 (FNA B)
3(FNA B)
4 hari
2 (FNA B)
6(FNA B)
7 hari
4 (FNA B)
4(FNA B)
14 hari
5 (PA)
2(PA)
60 hari
2 (PA)
0
Total pasien
34
30

Data Pada Tahun 2009 dan 2010 yaitu sebanyak 30% menunjukkan bahwa diagnosa pasti dapat ditegakkan hanya dalam waktu 1 hari, sisanya sebanyak 70 % pasien, diagnosis dapat ditegakkan dalam kurun waktu 2-14 hari, sedangkan waktu terlama untuk menegakkan diagnosis Carsinoma pada tahun 2009 adalah selama 60 hari (5%). Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain pasien yang pindah perawatan di RS lain atau kepatuhan pasien untuk datang kontrol berobat  ke RSD dr. Soebandi Jember.
Pada tahun 2009 Sebanyak 27 pasien (±80%) ditegakkan menggunakan FNA B, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 28 pasien (±93%).
Gambar 2. Kecepatan diagnosis kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring

4.3  Frekuensi Kontrol
Frekuensi Kontrol pasien dengan Suspect dan Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 diukur dengan mengumpulkan data rekam medis pasien pada Poli THT, Instalasi Rekam medis dan Instalasi Patologi Anatomi. Pasien yang diambil adalah pasien lama maupun pasien baru yang datang untuk memeriksakan diri ke RSD dr. Soebandi selama kurun waktu 2 tahun (1 Januari 2009 – 31 Desember 2010).
Data yang dapat diolah hanya sebanyak 64 pasien dari total 98 pasien, dikarenakan sebanyak 34 pasien (34,6%) tidak memiliki kriteria yang ditetapkan oleh peneliti. Berdasarkan data yang diperoleh frekuensi kontrol pasien dengan kasus suspect dan Carsinoma Nasofaring pada tahun 2009 dan 2010 adalah 1-6 kali kontrol dengan rerata sebagai berikut.  

Tabel 3. Frekuensi kontrol kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring,
Frekuensi kontrol
2009
2010
1 kali
6 (17,5%)
8 (26,6%)
2 kali
10 (29,5%)
6 (20%)
3 kali
5(14,7%)
5 (16,6%)
4 kali
6 (17,5%)
4 (13,3%)
5 kali
3 (8,8%)
5 (16,6%)
6 kali
4 (11,7%)
2 (6,6%)
Total pasien
34
30

Data pada tahun 2009 menunjukkan bahwa frekuesi kontrol tertinggi adalah 2 kali yaitu sebanyak 10 pasien (29,5%), sisanya kontrol sebanyak 1, 3, 4, 5, dan 6 kali. Sedangkan data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi kontrol tertinggi pasien adalah 1 kali yaitu sebanyak 8 pasien (26,6%). Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain pasien yang pindah perawatan di RS lain atau kepatuhan dan kesadaran pasien untuk datang kontrol berobat ke RSD dr. Soebandi Jember.


Gambar 3. Frekuensi kontrol kasus Susp. Carsinoma Nasofaring dan Carsinoma Nasofaring




BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia termasuk di RSD dr. Soebandi Jember. Dari data yang diperoleh, terdapat sebanyak 98 pasien selama tahun 2009-2010, dimana ± 30% pasien dapat ditegakkan diagnosisnya hanya dalam waktu 1 hari dan frekuensi kontrol pasien ± 30% adalah sebanyak 2 kali.
1.      Diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai jumlah  kasus karsinoma nasofaring di RSD dr. Soebandi Jember dengan database yang lebih akurat untuk mengurangi homogenitas subjek penelitian
2.      Diharapkan ada perbaikan dan keseragaman yang lebih baik lagi dalam penciptaan dan pengelolaan rekam medis untuk memperolah database yang lebih akurat.
3.      Diharapkan ada intervensi lebih dari pihak pemerintah dan pelayanan kesehatan untuk mengedukasi masyarakat tentang deteksi dini adanya karsinoma nasofaring.
4.      Diharapkan ada intervensi lebih dari pihak pemerintah dan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk berobat apabila ditemukan gejala/ keluhan yang berkaitan dengan adanya massa abnormal (tumor) khususnya karsinoma nasofaring.







1.     American Cancer Society. 2011. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga: American Cancer Society; 2011.
2.     Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara.
3.     Bambang S.S. 1992. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
4.     Brennan, Bernadette. 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. United Kingdom: Orphanet Encyclopedia. http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-NPC.pdf.
5.     Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of chemotherapy. Annals of Oncology 17 (Supplement 10): x304–x307, 2006. doi:10.1093/annonc/mdl278. 
6.     Hao, Sheng-Po dan Tsang, Ngan-Ming. 2010. Surgical Management of Recurrent Nasopharyngeal Carcinoma. Chang Gung Med J Vol. 33 No. 4.
7.     Jeyakumar, Anita et al. 2006. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT-Ear, Nose & Throat Journal March 2006.
8.     Leu, Yi-Shing dan Lee, Jehn-Chuan. 2009. “Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and  Hypopharynx”. J. Chinese Oncol. Soc. 25(2), 102-113.
9.     Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. 2007. “Paru dan Saluran Napas Atas”. Disunting oleh Vinay Kumar Ramzi S Cotran, dan Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.
10. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2006. “Karsinoma Nasofaring”. Disunting oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
11. Widjoseno-Gardjito. 2005. “Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ, Kepala dan Leher”. Disunting oleh R Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta: EGC
12. Wei, William I. 2001. Nasopharyngeal Cancer: Current Status of Management. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001;127:766-769.
13. Marur, S dan Forastiere A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing Epidemiology, Diagnosis, and Treatment. Mayo Clin Proc. April 2008;83(4):489-501

14. Administrator. 2011. Pengobatan Kanker Nasofaring. [serial online]. http://www.indononi.com/wp-content/uploads/2011/06/Kanker-Nasofaring.jpeg. Diakses 27 Juli 2011.

15Cabenda. 2007. Head and Neck Cancer. [serial online]. http://www.kno-clinic.com/images/cancer/?Page=ent_cancer. Diakses 29 Juli 2011.
LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar